Ekstraksi
Vakum adalah metode pelahiran dengan memasang sebuah mangkuk (cup) vakum
di kepala janin dan tekanan negatif. Di Eropa cara ini merupakan alternatif
yang disukai dibanding cara forcep dan popularitasnya meningkat di Amerika
Serikat. Indikasi penggunaan vakum ini sama dengan outlet forceps, tetapi
terutama pada kasus janin gagal berotasi dan persalinan berhenti di kala dua
(Galvan, Broekhuizen, 1987). Syarat penggunaan metode ini ialah presentasi verteks,
ketuban sudah ruptur, dan tidak ada disproporsi fetopelvis.
Wanita ini
dipersiapkan untuk melahirakan pervaginam dalam posisi litotomi untuk
memungkinkan traksi yang memadai. Mangkuk dipasang pada kepala janin dan kaput
akan muncul di dalam mangkuk karena tekanan mulai diberikan
Kemudian traksi dipasang untuk memudahkan penurunan kepala janin. Wktu kepala mulai terlihat (crowning), dilakukan episiotomi bila perlu dan mangkuk vakum dilepas dan dikeluarkan setelah kepala lahir. Jika ekstraksi vakum tidak berhasil, pelahiran harus dilakukan dengan bantuan forsep atau melalui sesaria
Risiko pada bayi meliputi sefalhematoma, laserasi
kulit kepala, dan hematoma subdural. Komplikasi maternal tidak umum terjadi,
tetapi dapat mencakup laserasi di perineum, vagina, dan serviks.
Pertimbangan Keperawatan
Dalam membantu wanita yang melahirkan melalui
penggunaan ekstraksi vakum, perawat berperan sebagai pendukung dan pendidik.
Perawat dapat menyiapkan ibu untuk melahirkan dan mendorongnya untuk tetap
aktif dalam proses melahirkan, yakni menganjurkan ibu untuk mendorong saat
kontraksi. Denyut jantung janin juga harus sering dinilai selama prosedur
tersebut. Setelah lahir bayi harus diobservasi untuk melihat tanda infeksi pada
tempat pemasangan mangkuk dan iritasi serebral (misalnya, akibat penghisapan
yang buruk, ketidakberdayaan). Orang tua perlu diyakini bahwa kaput suksedeneum
akan hilang setelah beberapa jam. Para tenaga perawatan neonatus harus
menyadari bahwa bayi tersebut dilahirkan dengan ekstraksi vakum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar